Rabu, 04 Maret 2015

Kelainan Pada Esophagus




A.Akalasia
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama simple ectasia  kardiospasme, megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Kegagalan relaksasi  batas esofagogastrik pada proses menelan menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter  balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara kardiomiotomi di luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang . Akalasia adalah tidak adanya atau tidak efektifnya peristaltik esofagus distal disertai dengan kegagalan sfingter esofagus untuk rileks dalam respon terhadap menelan. Penyempitan esofagus tepat di atas lambung menyebabkan peningkatan dilatasi esofagus secara bertahap di dada atas. Akalasia dapat berlanjut secara  perlahan. Ini terjadi paling sering pada individu usia 40 atau lebih. Diduga terdapat insiden akalasia dalam keluarga . . Akalasia esofagus Akalasia akibat dari retensi atau lambatnya bongkahan makanan disertai meningkatnya obstruksi dan dilatasi esofagus. Penyebab keadaan ini tidak diketahui, tetapi ditemukan berkurangnya sel ganglion pleksus minterik dan degenerasi wallerian pada akson bermielin maupun tak bermielin dari nervus vagus ekstra esophagus.

B.Epidemiologi
Penyakit ini relatif jarang dijumpai. Dari data divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun. Suatu penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28  populasi di 26 negara, angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan angka kematian standar 239 dan yang terendah dengan angka kematian standar 0. Angka ini diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder.
Kelainan akalasia tidak diturunkan dan biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.

C.Etiologi
Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi, terdapat bukti bahwa degenerasi plexus Auerbach menyebabkan kehilangan pengaturan neurologis. Beberapa teori yang berkembang berhubungan dengan gangguan autoimun,  penyakit infeksi atau kedua-duanya. Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu :

1.      Akalasia primer, (yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esofagus. Di samping itu, faktor keturunan juga cukup berpengaruh pada kelainan ini. 2.

2.      Akalasia sekunder, (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat antikolinergik atau pascavagotomi. Gambaran Klinis .

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik diterapkan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia .

 
1.      Teori Genetik Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia. 2.

2.      Teori Infeksi Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine  pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropik sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran  pencernaan di mana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia. 3.

3.      Teori Autoimun Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa sumber. Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui berperan dalam penyakit autoimun. Kedua,  prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan  penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus. 4.

4.      Teori Degeneratif Studi epidemiologi dari AS menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan  proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson dan depresi.


D.Patofisiologi
 Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan vasoactve intestinal peptide . Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia .
 
 
E.Tanda dan Gejala
 Tanda gejala yang mungkin muncul pada penderita akalasia, antara lain:.
1.      Sulit menelan makanan baik cair maupun padat
2.      pasien mempunyai sensasi makanan menyumbat pada bagian bawah esofagus.

3.      Muntah, secara spontan aau sengaja untuk menghilangkan ketidaknyamanan.

4.      Nyeri dada dan ulu hati (pirosis).Nyeri bisa karena makanan atau tidak.

5.      Kemungkinan komplikasi pulmonal akibat aspirasi isi lambung.

6.      Disfagia, merupakan keluhan utama dari penderita akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan daripada makanan padat.


7.      Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi makannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal.

8.      Regurgitasi isi esofagus yang stagnan. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat  penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses  paru.

9.      Rasa terbakar dan nyeri substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.

10.  Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.

11.  Adanya ruptur esofagus karena dilatasi
12. Kesukaran menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi esofagus yang sangat hebat